Minggu, 26 Agustus 2012

**Karena patah Hati**

Aku bingung, stres, depresi. Aku gundah gulana memikirkan kalimat apa yang harus kususun dalam suratku yang terakhir buat Nenden. Apakah mesti to the point tanpa berbasa-basi dulu: Neng, besok aku mau bunuh diri. Jaga baik-baik kesehatanmu!? Ataukah mesti pakai kalimat yang rada-rada ekstrim semisal: Neng, besok aku mau bunuh diri, nih! Semua gara-gara kamu. Awas, setelah aku mati, aku akan gentayangan padamu!? Sudah berjam-jam lama aku duduk bermenung di depan selembar kertas yang baru tertulis kata ‘salam’ saja. Aku bukan seorang pujangga yang pandai merangkai kata meski cuma untuk sepucuk surat. Terus terang, seumur hidup, aku tak pernah berhasil bikin surat, padahal apa yang kulakukan seperti siang ini bukanlah perbuatan yang tak biasa. Berkali-kali aku berniat bikin surat, tapi berkali-kali juga kertas yang kusiapkan malah digambari pendekar yang lagi silat-silatan. Meski begitu, diam-diam aku senang juga karena sewaktu aku menggambar Wiro Sableng itulah, aku dapat melupakan perasaanku terhadap Nenden, setidaknya untuk beberapa menit. Tapi kali ini, alih-alih dapat melupakan Nenden, perasaan sentimentilku malah makin menggebu. Bunuh diri…, hm, cara untuk membuktikan betapa dalamnya cinta. Aku harus membuat surat perpisahan agar dia menyesal karena sudah mengabaikan perasaanku. Cintaku yang tulus dan suci plus murni dianggap sepi tak berarti. Dua jam berlalu, aku masih menggaruk kepala. Kugaruk lebih kasar sampai beberapa helai rambut tercabut. Hari ini adalah hari terburuk dari sekian banyak hari buruk yang pernah kualami. Sejak bangun pagi, hatiku gundah. Sebenarnya aku malu kepada induk semang karena pekerjaanku sebagai pengadon kecap akhir-akhir ini nggak ada yang benar. Kecap bikinanku bukan tambah enak, malah makin tak terasa kecapnya. Yeah, harus bagaimana lagi, daku kini kehabisan energi gara-gara cinta. Tiap kali mau ngadonan, ragaku ini bagai digelayuti barbel 50 kiloan. “Kau ini payah,” ejek si bos, “Baru sekali ditolak cinta saja sudah frustrasi, loyo, lemah tanpa daksa. Kau seperti bukan lelaki aja.” ”Aaaah…, persetan dengan pekerjaan!” kugebrak meja, pulpen meloncat ke udara. Sekali lagi, hari ini adalah hari terburuk yang pernah kulakoni, dan karena itu aku terus menggaruk kepala. Aku tak peduli semua rambutku rontok tercabuti. Aku gregetan, keinginan bunuh diri terus merangsek di hati. Aku ingin mati saat itu juga, kalau bisa. Padahal apalah susahnya buat mati? Tinggal ambil belati di dapur, lalu ‘cos’ ke dada, matilah aku, maka selesai sudah urusan. Tapi, dipikir-pikir, rugi banget kalau aku mati tanpa meninggalkan pesan perpisahan untuk Nenden. Nenden tak akan menyesal, dan semua orang pasti akan menganggap kematianku bukan karena ingin membuktikan cinta, melainkan karena ‘bosan hidup capek kerja’. Oleh karena itulah, aku harus membuat surat perpisahan. Tapi karena aku tak bisa merangkai kata, lagi-lagi aku cuma bisa menggaruk kepala. Harus bagaimanakah agar aku bisa menyusun kalimat yang menyentuh, yang bisa membuat hati Nenden tersayat, yang bisa membuat air mata Nenden jatuh bercucuran? Pokoknya, yang bisa menumbuhkan penyesalan dalam di hati gadis itu? *** Dan hari ini, jam satu, aku berdiri menantang matahari. Aku marah, kenapa matahari bersinar cerah? Mestinya seluruh alam berduka cita menghadapi kematianku. Aku sekarang sedang berkacak pinggang di mulut jurang Cibueuk. Rencana bunuh diriku tidak main-main. Aku tak mau peduli orang tuaku mau makan apa nanti. Aku juga sewot dari buntut hingga kepala pada bos yang terus meledek. Kau seperti ayam tetelo. Gara-gara cinta ditolak, tenaga langsung loyo. Kurang ajar dia! Aku melihat ke dasar jurang dan meringis memandangi terjalnya bebatuan. Aku tak sanggup membayangkan jika tubuhku terlempar ke sana, tulang belulangku pasti remuk amburadul, kepalaku akan hancur, darah menyembur. “Hiii…!” aku merinding takut. Kalau saja aku punya penyakit jantungan mungkin proses kematianku ini akan mudah; beberapa detik ketika tubuhku meluncur ke jurang, semoga jantungku langsung soak, dan nyawaku terputus sebelum raga yang ringkih ini remuk membentur batu. Itu berarti aku tak perlu lagi merasa sakitnya terlempar ke dasar jurang. Kupikir, betapa enak. Aku jadi ingat masa kecilku saat ikut kawan mengaji di ustad Komar. Pernah sang ustad bilang bahwa jasad orang mati itu seperti boneka, bahwa orang mati sudah kehilangan rasa. Kenapa bisa begitu? Ustad menjawab: karena jiwanya telah terbang meninggalkan jasad? Terbang ke mana? Menghadap Tuhan. Untuk apa? Untuk ditimbang dosa dan kebaikannya. Bagi mereka yang beramal banyak, balasannya adalah surga, dan orang-orang yang banyak dosa niscaya akan diceburkan ke dalam api neraka. Ha, sedangkan aku belum siap menghadap Tuhan. Terus terang,dosaku mungkin sudah menggunung saking banyaknya. Apalagi kematianku nanti karena bunuh diri, pastilah akan berlipat-lipat siksaku nanti di akherat. Bagaimana, dong? Bingung. Kugaruk kepala, menoleh sebentar ke belakang. Aku malu kalau ada orang yang melihat kelakuanku sedari tadi cuma menggaruk kepala. Aku berpikir lagi. Kali ini aku mencoba berpikir lebih jernih. Apa sebenarnya yang telah terjadi padaku? Kenapa harus bunuh diri? Apakah untungnya? Kira-kira begitulah pertanyaan-pertanyaan yang terlintas dalam benakku. Satu hal yang menunjukkan bahwa aku sedang berpikir jernih adalah ketika aku berhenti menggaruk kepala. Ah, ah, ini cuma lelucon saja, aku mendesah pada akhirnya. Ya, itu hanya lelucon. Motifku bunuh diri adalah membalas sakit hati pada Nenden, dengan harapan Nenden menyesal karena telah menolak cintaku. Ya, semua hanya permainan saja. Aku tak mau mati. Sekali lagi, aku tak mau mampus dengan sia-sia. Aku mundur beberapa langkah, lalu duduk merenung di bawah pohon Melinjo. Tiada lagi hasrat untuk menggaruk kepala. Aku berpikir; “apakah setelah mati, aku bisa menikmati penyesalannya? Apakah aku bisa gentayangan ke rumahnya? Dan apakah dia akan benar-benar menyesal? Waduh, percuma dong aku mati kalau tidak bisa menikmati penyesalan Nenden.” Terbukalah kini pikiranku. Bunuh diri jelas hanya akan menambah rugi, ya di dunia, ya di akherat. Yeah, lebih baik aku pulang. *** Langkahku tersaruk mengacak dedaunan kering di jalan setapak. Suara berisik membuat serangga-serangga kecil berlompatan ke semak di kiri kanan jalan. Seekor kadal bengong, keempat kakinya mencengkram akar pohon yang tersembul di permukaan tanah. Ketika sandal jepitku terangkat di atas kepalanya, sang kadal berlari terbirit-birit ke depan. Binatang itu menunggu sambil bengong. Aku mempercepat langkah, dan si kadal terbirit-birit lagi ke depan sambil berteriak girang: Ayo, injak gue kalo dapat!. Tapi rupanya kali ini sang kadal harus ketiban sial, belum sempat bengong lagi tahu-tahu sandal jepitku sudah nongkrong di punggungnya. Buk! Aku menyepak kuat-kuat binatang tukang bengong itu. Sang kadal terpelanting jauh sekali. Entah apa yang sedang diperbuatnya di balik rerimbunan semak, mungkin sang kadal terbengong-bengong memikirkan nasibnya yang harus kena sepak. Kasihan bener dia. Tapi, ah, kalau aku mengasihani kadal, lantas siapa yang mengasihani aku? Aku menoleh ke belakang, menatap bekas sapuan langkah kakiku yang tak beraturan. Mataku berkedip lesu, mungkin seperti kedip mata ayam tetelo. Jurang Cibueuk sudah jauh kutinggalkan, tapi rasa ngeri atas niatnya bunuh diri masih membekas dalam hati. Sedih. Pilu. Yeah, aku merasakan pilu yang sangat. Aku berandai-andai dalam hati, kalau saja terlahir dari keluarga kaya pasti aku tak akan mengalami penolakan cinta. Aku merasa kelemahan diriku yang paling menonjol adalah masalah kemiskinan. Semua orang tahu aku adalah pemuda yang seumur hidup bergumul dalam kemelaratan. Aku kenyang dijuluki pengangguran. Bertambah ekstrim lagi oleh kondisi wajahku yang jauh dari kegantengan. Aku introspeksi, inikah penyebab merosotnya harga diriku sebagai lelaki di mata setiap wanita? “Tapi kenapa aku harus mencintai Nenden?” pertanyaan itu memukul-mukul dada. Aku teringat saat-saat pertama diberi senyuman oleh cewek manis itu, betapa yakin diriku akan mendapatkan cinta. Ternyata dugaanku salah. Aku terlalu geer mengartikan senyuman itu. Senyum itu ternyata bukan pertanda cinta, senyum itu hanyalah senyum ramah tamah biasa. Di antara bunyi kresekan dedaunan kering yang remuk terinjak, lamat-lamat kudengar suara degung dari arah desa Leuwiati (degung: iringan musik gamelan khas Sunda, biasa diputar di acara hajatan perkawinan dengan pengeras suara). Sulingnya mendayu-dayu mengiris kalbu, menambah pilu. Entah siapa yang menikah. Aku membayangkan sang pengantin saat ini sedang bahagia karena akan menempuh hidup baru bersama orang tercinta. Kutelan ludah. Kerongkonganku terasa gersang. “Apakah aku akan mengalaminya?” kutendang butiran kerikil. Aku sangat mendambakan perkawinan, tak peduli siapa pasanganku, asal baik dan menerimaku apa-adanya. Tiba-tiba aku menyadari satu hal yang tak terpikirkan sejak ia jatuh cinta pada Nenden, bahwa Nenden bukanlah satu-satunya wanita di dunia. Aku tak habis pikir, kenapa selama ini aku menganggap Nenden satu-satunya cinta di dunia. “Lantas, kalau tidak dengan Nenden, dengan siapa pula aku kawin?” Uh, aku ingin kabur meninggalkan desa. Aku ingin menghapus semua duka lara, pahit-getirnya hidupku di desa. Aku ingin pergi ke mana kaki akan membawaku, dan aku tak akan pulang sebelum sukses. Dan jika aku tak pernah sukses, berarti aku tak akan menjumpai lagi desaku, emak bapakku, sahabat-sahabatku, serta Nenden dambaanku. Keputusanku sudah mantap sekarang: “Aku akan pergi berkelana, mencari kehidupan lain.” Langkahku berbelok dari jalan setapak, menerobos perkebunan kopi di tepi desa Leuwiati. Sungai Cilowa disebrangi, sampailah diriku di muka pesawahan. Nun jauh di seberang sawah tampak tebing tinggi dengan tanahnya yang merah kecoklatan, di bawahnya melintas jalan aspal, aku melangkah lagi menyusuri tegalan sawah. Matahari merah di ufuk barat menyorot bagian atas tubuhku, kemudian tenggelam dengan perlahan-lahan. Suara serangga ramai menyambut datangnya malam. Aku tak tahu akan ke mana aku melangkah. Sampai ketika terdengar bedug maghrib di pedusunan, aku, sang lelaki malang ini masih duduk termenung di gubuk tengah sawah. Tabuhan bedug itu, lantunan sholawat serta kumandang adzan itu, memaksa diriku untuk meneteskan butiran air mata.

i
Posted by: Meidy 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar