Seribu Teman
belum cukup, Satu Musuh Terlalu Banyak
10 desember 2012 by muhammad meidy
Begitulah, kebutuhan terhadap teman bisa diungkapkan melalui bahasa apapun. Jika lidah tak mampu bertutur, maka janganlah ia dipaksa, karena hanya kekeluan yang akan terjadi, walalupun sebenarnya pertemanan (baca : persahabatan, atau dalam tingkatan yang lebih tinggi lagi kita menyebutnya dengan sebutan persaudaraan) selalu bisa memahami makna pesan yang disampaikan oleh si pengirim pesan. Jika lisan tak lagi sanggup menggambarkan rasa, maka jangan terlalu gundah, karena cepat atau lambat, ia akan menemukan cara kreatif untuk mengungkapkan rasa yang dimiliki oleh si pemilik rasa. Pada kenyataannya, bahasa lisan selalu berhasil merubah bentuknya menjadi apapun ; bahasa tulisan, bahasa tubuh, bahkan dengan bahasa lain yang belum terpikirkan istilahnya sekalipun, untuk bisa mengungkapkan rasa apa yang dirasa.
Nyatanya,
kita diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Ah, bumi ini begitu kaya;
banyak ragam yang dimiliki, banyak kepribadian yang menghiasi, dan banyak kejadian
yang terjadi. Dengan berbagai macam ragam bentuk dan kepribadian yang dimiliki,
cukupkah suatu permasalahan diselesaikan melalui satu pendekatan saja? Tentu
saja tidak. Saling memahami, itulah kata kuncinya.
Bukankah Abu
Bakar yang berhati lembut bisa merajut kisah indah dengan seorang teman
berperangai keras yang bernama Umar? Bukankah Muhajirin dan Anshor telah
berhasil dengan gemilang membuka mata dunia dalam menunjukkan bahwa perangai
dan kecendrungan tidaklah menjadi masalah yang menyebabkan permusuhan? Mereka
bisa saling memahami, mengapa kita tidak? Bukankah seharusnya kita juga punya
seribu satu alasan yang dibingkai dengan pemahaman yang baik untuk mencegah
terjadinya perpecahan?
“Teman”,
kata yang terdiri dari lima huruf itu telah berhasil menjadi kata ganti untuk
menggantikan orang yang senantiasa terasa baik oleh kita, walaupun mungkin pada
kenyataannya tidak selamanya baik. Teman, dialah orang yang kadang selalu ingin
kita tatap wajahnya,berdekatan dengannya, meski sebenarnya tidak ada yang ingin
dibicarakan. Karena hadirnya, ia mendatangkan kedamaian. Sedangkan “musuh”,
telah berhasil menjadi kata pengganti bagi seseorang yang sudah tidak bisa lagi
mendatangkan kedamain, malah mendatangkan rasa tidak nyaman, takut, marah,
benci dan gundah.
Pada suatu
waktu dalam sketsa kehidupannya, Rasulullah pernah meminta sahabat untuk
membalasnya, jika ia pernah menyakiti para sahabat. selain ingin menuntaskan
hutang dunia agar tak ditagih di akhirat, ternyata ada pelajaran lain yang bisa
kita petik dari sana, yaitu beliau ingin menjaga hubungan baik dengan para
sahabatnya, tidak ingin mencari musuh. Beliau mempermudah, tidak mempersulit.
Namun, terkadang kita terlalu egois dengan menganggap hal sepele terlalu berat
dan hal kompleks dianggap terlalu remeh, sehingga akhirnya menimbulkan polemik
yang berujung pada permusuhan. Kedewasaan kita dalam memahami satu sama lain
sangat berperan di sini. Karena satu musuh terlalu banyak dan seribu teman
belumlah cukup, bukan begitu teman ku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar